Ambisi Myanmar "Memotong" Selat Malaka Dana US$50 miliar atau sekitar Rp450 triliun disiapkan untuk membuka kawasan ini.


VIVAnews - Sebuah kawasan hutan di selatan kota Dawei menyimpan ambisi besar Myanmar untuk menjadi pemain global baru. Kawasan seluas 250 kilometer persegi sedang dipersiapkan menjadi kawasan industri terbesar di Asia Tenggara.

Tidak main-main, dana US$50 miliar atau sekitar Rp450 triliun disiapkan untuk membuka kawasan yang berbatasan dengan Thailand itu. Pengembangnya, perusahaan konstruksi terbesar Thailand, Italian-Thai Development Pcl, menyebutnya sebagai "Gerbang Global Baru Indo-China".

Untuk negeri yang sepertiga dari 60 juta rakyatnya bergantung pada penghasilan kurang dari sedolar Amerika sehari ini, rencana Dawei ini benar-benar luar biasa. Pengembang menyatakan akan membangun jalan raya, pabrik baja, pembangkit listrik, galangan kapal, pabrik kertas dan pabrik petrokimia. Juga bakal ada dua lapangan golf dan sebuah resor liburan. Dan kawasan ini persis terletak di antara dua raksasa baru Asia saat ini, China dan India.

Namun, meski telah setahun sejak bekas junta militer menandatangani pembentukan zona ekonomi khusus ini, perkembangan proyek ini tak tampak mencengangkan. "Hanya sedikit aktivitas di sekitar sini terkait proyek ini. Kebanyakan kami penasaran apakah mereka benar-benar percaya diri melanjutkan," kata Kyaw Naing Oo, seorang pedagang di Maungmakan, yang pantainya berbatasan dengan proyek ini.

Italian-Thai juga belum mendapatkan US$8,5 miliar untuk melakukan konstruksi tahap pertama seperti membangun jalan, jaringan telekomunikasi, utilitas dan pelabuhan setelah selesai membangun jalan tanah sepanjang 100 km ke Thailand. Petinggi Italian-Thai berharap bisa mendapatkan mitra strategis sebelum akhir tahun ini.

Menteri Energi Myanmar Than Htay menyatakan kepada Reuters bahwa zona ekonomi khusus lainnya akan lebih diprioritaskan yakni Thilawa di dekat ibukota perdagangan, Yangon, dan Kyaukphyu, di mana jalur pipa China dan Myanmar dimulai dan sebuah pelabuhan laut dalam hampir selesai. "Kini kami memikirkan suplai listrik ke Kyaukphyu," katanya.

Masalah sumber listrik ini yang menjadi jantung masalah Dawei setelah Myanmar menghentikan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara 4.000 megawatt pada Januari lalu setelah muncul masalah lingkungan.

Risiko

Di negeri yang listrik masih sering padam ini, sumber listrik memang menjadi masalah yang belum terpecahkan. Menghidupi rumah saja sulit, apalagi menghidupi listrik kawasan industri.

Tapi, "Ini titik tak bisa kembali," kata Somchet Thinaphong, Direktur Pelaksana Dawei Development Co Ltd, perusahaan yang dikendalikan Italian-Thai.

Somchet menyatakan, proyek ini mendapat perhatian besar dari investor asing. Jepang melihat kans Dawei sebagai tempat pembuatan mobil yang bisa lebih murah daripada Thailand.

Dia mengharapkan, jalan raya yang baik terhubung ke Thailand bisa selesai dalam tiga tahun, sehingga menciptakan rute stabil kargo dari Timur Tengah dan Afrika untuk dibawa ke Bangkok, memotong jalur Selat Malaka.

Di Singapura, pelabuhan terpenting di Selat Malaka, broker DBS Vickers Securities memberikan sinyal risiko atas proyek ini. "Meski potensial membawa kemakmuran ekonomi pada Burma, proyek ini masih dini dan berkabut risiko. Penghentian tiba-tiba proyek pembangkit listrik 4.000 megawatt akan membuat Italian-Thai sulit mendapatkan mitra strategis untuk mendanai proyek."

Kanit Sangsubhan, Direktur Institut Riset Ekonomi dan Keuangan Kementerian Keuangan Thailand, menyatakan pada Reuters bahwa protek ini butuh keterlibatan penuh pemerintah atau BUMN. Namun yang terjadi justru kekaburan.
Homepage: http://dunia.vivanews.com/

0 komentar:

Posting Komentar