Petani mengangkat bibit padi yang akan ditanam. (ANTARA/GreenLee) |
Sebagian besar mata pencaharian rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta adalah petani. Namun sebuah riset mengungkap sisi ironisnya, yakni sebagian besar justru berpendapatan jauh di bawah upah minimum provinsi.
Dr. Sutaryono, dosen sekaligus peneliti dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, mengatakan berdasarkan
penelitian di DIY menunjukkan penguasaan lahan yang semakin sempit menjadi faktor penyebab utama terjadinya kemiskinan di kalangan petani. Namun, meski lahan sempit, jumlah petani tidak berkurang.
Dari lima desa perwakilan empat kabupaten di DIY yang diteliti yakni Hargobinangun (Sleman), Banyuraden (Sleman), Srigading (Bantul), Jatisarno (Kulonprogo) dan Ngunut (Gunungkidul) menunjukkan sebagian besar petani hanya mengusahakan lahan kurang dari 5.000 meter per segi. Bahkan petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 meter per segi berkisar 4 persen sampai 28 persen pada seluruh desa.
Dari aspek pendapatan, 50 persen petani pendapatannya kurang dari Rp500 ribu per bulan. Bahkan di Desa Ngunung, Gunung Kidul, 94 persen petani berpendapatan kurang dari Rp 500 ribu per bulan.
Menurutnya akses petani terhadap kredit juga menjadi persoalan yang dihadapi sebagian besar petani. “Sekitar 69,6% tidak mampu mengakses kredit,” katanya, Senin 5 Maret 2012. Sulitnya petani mendapatkan akses kredit ini disebabkan beberapa hal antara lain rumitnya persyaratan memperoleh kredit, kewajiban penggunaan agunan, besarnya jasa/bunga, dan tidak mendapatkan kepercayaan dari kreditor.
Secara kelembagaan sebagian besar petani di setiap desa ikut secara aktif dalam kelompok tani. Keterlibatan petani dalam kelompok tani mencapai 60% hingga 92%. Kondisi ini menunjukkan kesadaran petani untuk soal kelembagaan yang berhubungan langsung dengan petani sudah baik. Namun tingginya keterlibatan petani dalam kelembagaan petani dan kemasyarakatan belum memberikan dampak baik terhadap peran petani dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan usaha petani dan program pembangunan pertanian maupun program kemasyarakatan lainnya.
“Rendahnya keterlibatan petani dalam pengambilan keputusan berimplikasi pada rendahnya keterlibatan petani dalam program pembangunan pertanian,” katanya.
Makin tingginya tekanan terhadap penguasaan lahan pertanian, menurut Sutaryono, perlu dilakukan berbagai upaya untuk melindungi dan mempertahankan lahan pertanian agar petani dapat melakukan usaha tani secara aman dan berkelanjutan.
“Salah satunya, penetapan kawasan pertanian, pengaturan peralihan hak atas lahan dan alih fungsi lahan secara ketat, pengendalian lahan pertanian secara partisipatif dan pemberlakukan sistem intensif dan disinsentif terhadap pelaku pembangunan yang menggunakan lahan pertanian,” katanya.
Homepage: http://bisnis.vivanews.com/
0 komentar:
Posting Komentar